Jumat, 18 November 2016

Toleransi di Tanah Intoleran


Toleransi di Tanah Intoleran 

Oleh:  Reni Susanti


http://regional.kompas.com/read/2016/11/16/16010011/toleransi.di.tanah.intoleran.1.?page=3
PURWAKARTA, KOMPAS.com
- Perdebatan sengit terjadi di Gedung Dakwah, Jalah Ahmad Yani, Purwakarta. Para ulama tengah beradu argumen tentang Syiah. Sekelompok ulama setuju dengan rencana gerakan anti-Syiah di daerahnya. Sekelompok ulama lainnya menolak gerakan anti-Syiah karena potensi konfliknya besar.
Perdebatan semakin panas. Setiap ulama kukuh dengan pendiriannya masing-masing. Di antara para ulama tersebut terlihat Ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) Purwakarta, KH M John Dien Thahir.
John Dien mengernyitkan dahi. Sesekali dia mengambil air minum di tengah perdebatan panjang yang berlangsung alot ini.
“Kayak mau perang,” ucapnya menggambarkan perdebatan tentang anti-Syiah di Purwakarta, 2015 lalu.
Perdebatan ini menggambarkan apa yang ada di luar. Saat itu, organisasi yang menamakan dirinya Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas) begitu masif menyuarakan anti Syiah. Bahkan mereka berniat mendeklarasikan anti Syiah di beberapa daerah di Indonesia.
Annas semakin percaya diri ketika salah satu daerah di Jawa Barat melarang peringatan Asyura oleh kaum muslim Syiah daerahnya, Oktober 2015 lalu. Tekad mereka untuk menyuarakan anti-Syiah di Indonesia pun semakin kuat.
Perdebatan juga terjadi di media sosial. Setidaknya kata “Syiah” digunakan netizen lebih dari 530.000 kali selama Januari-Oktober 2015. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, kata Syiah maupun tagar anti-Syiah nyaris tak terdengar.
Salah satu bidikan Annas saat itu adalah Purwakarta. Rencananya, mereka akan menggelar deklarasi, Minggu, 15 November 2015, di Aula Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Purwakarta.
Surat Edaran
Tiga hari sebelum deklarasi dilakukan, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menggelar konferensi pers di kantornya. Ia memperlihatkan dan membaca surat edaran nomor 450/2621/Kesra tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan.
Surat itu berbunyi: “Dalam rangka memupuk sikap toleransi di tengah-tengah keberagaman dalam beragama dan keyakinan berdasarkan Pancasila dan UUD  1945 dalam Pasal 29, bahwa hak memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing merupakan hak yang paling asasi dimiliki seluruh umat manusia dan dilindungi oleh negara.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemkab Purwakarta bersama jajaran TNI dan Polri menjamin seluruh pendudukKabupaten Purwakarta untuk dapat melaksanakan peribadatan sesuai dengan gama dan keyakinan masing-masing, selama kegiatan peribadatan dimaksud tidak bertentangan dengan asas ketertiban umum.”
Surat tersebut ditandatangani Bupati Purwakarta, 10 November 2015, dan berlaku sejak surat tersebut ditandatangani.
Dedi beralasan, surat ini keluar karena ia melihat ada tanda-tanda perbedaan paham di daerahnya yang jika dibiarkan bisa menimbulkan konflik. Padahal kebebasan beribadah jelas diatur dalam UUD 1945.
Pasca-surat edaran, Annas membatalkan rencana aksinya, sedangkan Dedi menguatkan surat edaran Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan dengan mengeluarkan Surat Keputusan pendirian Satuan Tugas Toleransi Agama/Kepercayaan.
Tugas satgas toleransi
Untuk menakhodai Satgas ini, Dedi memilih Ketua FKUB, M John Dien Thahir. Meski menerimanya, John Dien mengaku kebingungan karena Satgas ini lembaga baru di Indonesia.
“Kami bingung harus mencontoh ke mana. Akhirnya kami mencoba membuat arahnya sendiri,” tuturnya.
Satgas toleransi terdiri dari 30 orang yang terdiri dari tokoh enam agama yang diakui negara beserta ormas-ormas keenam agama tersebut. Ke-30 orang tersebut menyebar di seluruh kecamatan.
Inti dari tugasnya yakni memfasilitasi, pembinaan, berkonsultasi,  menyelesaikan, dan memberikan rekomendasi terkait berbagai persoalan toleransi kehidupan beragama/kepercayaan di masyarakat. Pihaknya pun berkewajiban memberikan rekomendasi dan laporan terkait persoalan toleransi ke Pemkab Purwakarta.
Tak hanya itu, tugas dari Satgas adalah menanamkan toleransi sejak dini. Karena itu, berbagai kegiatan terus digelar.
Misalnya pelaksanaan malam takbiran bersama seluruh agama, pembagian takjil gratis, pelaksanaan berlombaan olahraga yang diikuti seluruh agama, kelas ideologi untuk menangkal gerakan yang menyimpang dari NKRI dan Pancasila.
Saat ini, sambung John Dien, pihaknya tengah menyiapkan 482 pendidik agama untuk program pengkajian kitab masing-masing agama untuk pelajar di Purwakarta. Guru-guru ini nantinya akan mendapat honor Rp1 juta-1,5 juta per bulan. Selain itu, Satgas Toleransi tengah menyiapkan rencana youth camp.
Nominator
Kebijakan pendirian satgas membuat Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menominasikan Purwakarta sebagai daerah paling toleran di Indonesia.
Bupati Purwakarta pun mendapatkan penghargaan dari Komnas HAM terkait pemerintah daerah yang berdedikasi dalam perlindungan dan pemenuhan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bahkan Kementerian Agama akan menjadikan program pengkajian kitab kuning untuk muslim, serta berbagai kitab lainnya untuk masing-masing agama non muslim sebagai role model dan diterapkan di Indonesia.
Toleransi di Tanah Intoleran
Masuknya Purwakarta menjadi nominator daerah paling toleran berseberangan dengan penilaian terhadap Jawa Barat sendiri yang dinilai provinsi paling intoleran.
Kongres Kebebasan Beragama 2016 menyebutkan, Jawa Barat menduduki peringkat pertama provinsi intoleran atau menolak kebebasan beragama. Sejak 2011, Jawa Barat berkali-kali masuk daftar teratas dengan masyarakat yang tidak menghargai kebebasan beragama.
Komisioner Komnas HAM untuk bidang Kebebasan Beragama, Imdadun Rahmat mengatakan, masih bertahannya Jawa Barat sebagai wilayah intoleran karena berbagai faktor. Hal paling kentara adalah belum adanya formula efektif untuk masyarakat dan pemerintah menyelesaikan konflik agama.
Hal senada diungkapkan Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid. Mengacu pada aduan yang diterima lembaganya, ada 46 aduan pelanggaran kebebasan beragama di Jabar. Penyebabnya, karena masifnya pertumbuhan kelompok intoleran dan kecilnya kesadaran terhadap hak kebebasan beragama.
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan Universitas Paramadina yang menyebutkan, dalam kurun waktu 1990-2008 terjadi 832 insiden konflik keagamaan. Aksi kekerasan dominan di beberapa daerah.
Jawa Barat menduduki posisi kedua dengan 102 kasus, terdiri dari 57 aksi damai dan 45 aksi kekerasan, di bawah Sulawesi Tengah dengan 76 kasus yang terdiri dari 28 aksi damai dan 76 aksi kekerasan.

PURWAKARTA, KOMPAS.com
– Purwakarta dengan luas wilayah 971,72 km persegi atau sekitar 2,81 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat memiliki 892.634 penduduk yang memiliki agama beragam.
Catatan Dinas Kependuduk dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Purwakarta tahun 2016, mayoritas penduduk Purwakarta beragama Islam sebanyak 883.744 orang, diikuti Kristen 6405 orang, Katolik 1.846, Budha 491 orang, Konghucu 9 orang, dan satu orang menganut kepercayaan.
Ketua Satgas Toleransi Agama/Kepercayaan, KH John Dien M Thahir mengatakan, keberagaman agama di Purwakarta membuat kehidupan beragama di Purwakarta dinamis. Meski dinamis, persoalan yang melibatkan antar agama di kabupaten ini terbilang kecil.
“Tahun 2007-2008, ada persoalan tempat ibadah gereja. Saat itu, sekelompok orang menuntut pendirian gereja ke pengadilan karena diduga memalsukan KTP,” ungkap John Dien, belum lama ini.
Kasus tersebut dimenangkan Gereja karena PTUN melihat gereja sudah mengantongi izin bupati sehingga proses ke bawah dianggap selesai.
Kasus lainnya adalah Kristenisasi dan Ahmadiyah. Kasus kristenisasi dilaporkan beberapa orang yang khawatir di salah satu sekolah di Purwakarta terjadi Kristenisasi. Kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.
Adapun kasus Ahmadiyah terjadi pada 2011. Ditandai dengan penutupan masjid Ahmadiyah dan pengucapan kembali kalimat syahadat oleh 31 dari 89 anggota Ahmadiyah Purwakarta.
Menurut John Dien, persoalan yang kerap terjadi di Purwakarta adalah internal agama Islam sendiri.
Hal ini dikarenakan cara berdakwah yang berbeda, misalnya Manhajus Solihin, FPI, dan Hizbut Tahrir Islam (HTI) memiliki cara dakwah lebih keras.
“Berbeda dengan NU yang relatif lebih sejuk dan cair, sehingga kerap dianggap lelet oleh kelompok lainnya,” ungkapnya.
Medan hisbah
Suara adzan Dzuhur menggema ketika Ketua Majelis Dakwah Manhajus Sholihin, KH M Syahid Joban menemui Kompas.com di pesantrennya, daerah Pasar Rebo, Purwakarta. Berbeda dengan hari biasanya, siang itu, pesantren yang dilengkapi dengan sekolah umum tersebut sangat sepi.
“Kalau setelah Idul Adha, kami libur,” tutur Joban memulai pembicaraan.
Joban lalu bercerita kenapa dirinya begitu gigih melawan kebijakan Bupati Purwakarta, termasuk dalam hal toleransi. Ia menilai, konsep toleransi yang diusung Bupati salah kaprah.
“Bupati melakukan anekaragam kemusyrikan dibungus dengan toleransi. Contoh Ramadan toleran. Warung buka 24 jam. Bupati gagal paham dalam toleransi,” ungkapnya dengan suara meninggi.
Jika pendirian Satgas ini untuk kerukunan, pihaknya setuju. Tapi jika tujuannya mengebiri perjuangan umat Islam dan memuluskan ritual-ritual penyimpangan akidah, tidak ada toleransi dalam hal itu.
Bukan tanpa alasan Joban berpikir hal tersebut karena kebijakan Bupati Purwakarta selama ini dianggapnya telah menyimpang dari syariat Islam, seperti soal kereta kencana, Nyi Roro Kidul, kain poleng, dan patung, lebih mengarah ke upaya hinduisasi Islam di Purwakarta.
Tak hanya itu, berbagai kegiatan kebudayaan yang diusung Dedi kental dengan unsur Sunda Wiwitan. Bahkan Dedi pun meminta Presiden Joko Widodo mengakui agama leluhur seperti Kejawen,Sunda Wiwitan, dan Mentawai. Karena Padjadjaran yang sekarang bernama Jawa Barat mempunyai sistem pluralisme yang mengakui semua agama benar.
“Kami menerima pluralitas, tapi menolak pluralisme, yang meyakini semua agama benar. Bahkan Dedi pun melarang ulama berdakwah provokatif, ini bahaya. Apa batasan provokatif,” tuturnya.
Dulu, sambung Joban, Purwakarta adalah kota santri, namun menurut dia, telah rusak begitu Dedi Mulyadi menjabat Bupati Purwakarta. Untuk mengembalikan hal tersebut, pihaknya akan mengumpulkan ulama dan mendirikan Forum Ulama Purwakarta sekaligus membuat berbagai kegiatan tandingan untuk menegakkan amar maruf nahi munkar.
“Purwakarta sudah bukan medan dakwah lagi. Tapi medan hisbah, medan amar maruf nahi munkar. Tidak bisa dibiarkan lagi,” ucapnya.
Dalam forum tersebut, pihaknya akan menyiapkan calon bupati yang akan bertarung di Pilkada 2018. Kontrak politik pertama yang harus dilakukan calon bupati tersebut adalah menghancurkan patung dan kebijakan Dedi yang menyimpang.



PURWAKARTA, KOMPAS.com
– Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bergegas. Ia mempercepat langkahnya dengan wajah yang terlihat kesal.
“Terserah agama mereka apa, tugas kita sebagai pemerintah adalah menguruskan KTP mereka. Mereka harus punya KTP, KK, akta kelahiran, akta nikah, dan berbagai catatan kependudukan!” ucapnya dengan nada tinggi kepada sejumlah pejabat di Cimahi, beberapa waktu lalu.
Kekesalan Dedi memuncak ketika mendapat kabar sekelompok penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu, Cimahi, belum mengantongi identitas kependudukan akibat agama leluhur yang dianutnya. Padahal Cimahi dipimpin oleh Golkar yang berada di bawah naungannya.
“Banyak alasan mengapa saya membela penganut agama leluhur,” tutur Dedi.
Baginya, penganut agama leluhur adalah penjaga adat, tata nilai, tata kelola alam, dan bahasa. Bahasa daerah buat mereka bukan hanya sekedar bahasa manusia, tapi bahasanya dengan Tuhan.
Begitupun dengan lingkungan. Contohnya Cipta Gelar Sukabumi, dan Baduy Banten, merekalah yang menjaga hutan-hutan tersebut. Jika agama mereka hilang, maka bahasa pun bisa hilang. Habitatnya bisa hancur, hutan hancur, dan sumber air pun akan hancur.
“Karena kita butuh mereka, keyakinan mereka harus kita lindungi. Selama puluhan tahun mereka hidup menderita. Mereka tidak punya KK, KTP, akte kelahiran, akte nikah. Mereka menjadi penduduk ilegal di negeri ini yang tidak mempunyai hak-hak pribadi,” tegasnya.
Itulah mengapa, 2015 lalu dirinya menyurati Presiden Jokowi dan meminta agama leluhur diakui negara.
Pelihara budaya
http://assets.kompas.com/data/photo/2016/11/02/0922597IMG-20160903-WA00211340x340.jpgKOMPAS.com/RENI SUSANTI Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memegang cepot, salah satu karakter dalam wayang Sunda.
Dedi mengaku tidak peduli dengan anggapan orang bahwa dirinya terlalu Sunda Wiwitan dan mengarah ke hinduisasi. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan olehnya seperti patung, kain poleng, itu tak lebih dari sekedar budaya.
“Saya ini menjual budaya sebagai ikon Purwakarta. Saya membuat patung sebagai estetika bukan untuk disembah,” tuturnya.
Jika pengkritik tersebut konsisten, seharusnya jangan patung pewayangan saja yang dipersoalkan, patung pahlawan, patung Harimau Lodaya di Kepolisian juga tidak boleh ada.
Begitu pun anggapan wajah Purwakarta seperti Bali. Dari hasil penelusurannya dengan mengumpulkan akademisi, peninggalan peradaban Sunda hampir tidak ada. Hanya ada beberapa situs.
“Dalam pertemuan tokoh Sunda dan Bali, disebutkan Bali itu Sunda kecil. Sunda besarnya berada di tanah Sunda,” tuturnya.
Sebenarnya, sambung Dedi, yang dikhawatirkan pengkritiknya bukan Bali, tapi Hinduisasinya.
“Bali bukan Hindu. Bali adalah Bali. Justru kita ini harus bangga pada orang Bali. Orang Bali berhasil melakukan balisasi Hindu,” tuturnya.
Karena kebijakannya tersebut, Dedi mengaku, ancaman kerap menghampiri. Bahkan setelah ia mengeluarkan surat edaran, ancaman dari beberapa daerah semakin menjadi.
“Enam bulan lalu saat perjalanan ke Garut, mobil belakang dilempar batu. (Mobil) depan dihantam, dan mobil saya dikejar 25 orang mengendarai motor sambil bawa pedang,” tuturnya.
Pernah juga di Bandung Barat ia dicegat 50 orang. Mereka tidak bicara, tapi memukuli mobil. Untungnya, pada dua kejadian tersebut, ada polisi.
“Surat edaran ini sebenarnya didukung banyak pihak. Tapi dukungannya dalam diam. Sebagai seorang pemimpin, saya harus tegak di tengah hujan batu,” ucapnya.

Perhatikan pengganti Dedi
Pemerhati Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, dalam pemerintahannya, Dedi mengintegrasikan budaya dan agama, dalam pola hubungan antar masyarakat.
“Secara prinsipil (itu) basis dari kebhinekaan. Pancasila mengajarkan toleransi, dan lain-lain. Persoalannya, secara personal Dedi kerap memperlihatkan dirinya mengarah ke Sunda Wiwitan meskipun ia seorang muslim. Sehingga orang melihat Dedi bukan penganut agama yang baik,” tuturnya.
Selama ini, orang-orang di Purwakarta tidak berani melawan Dedi karena dirinya banyak membantu dan ia memiliki power sebagai penguasa. Namun setelah tidak berkuasa, orang-orang yang diam selama ini bisa bergerak melakukan perlawanan.
“(Tugas) Satgas harus merasionalisasikan hal ini. Saat ini, orang takut (pada Dedi). Tapi begitu dia enggak jadi (turun dari bupati/gagal jadi Gubernur), orang berani menolak,” tuturnya.
Seperti di Bekasi. Di bawah pimpinan orang PDIP, Bekasi memiliki patung. Begitu pemimpinnya diganti oleh orang yang lebih agamis, patung langsung dihancurkan.
“Kalau itu terjadi (di Purwakarta), secara prinsip dia enggak berhasil. Orang menunggu waktu. Karenanya, dia harus berpikir pengganti dia harus yang seirama dengan apa yang dia lakukan sekarang,” tuturnya.
http://assets.kompas.com/data/photo/2016/09/25/1128035IMG-20160925-WA0005340x340.jpgKOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menghadiri acar seren taun di Kampung Adat Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, pada Sabtu (24/9/2016) malam.
Gayanya ini bisa menjadi role model jika dia mampu merasionalisasikan apa yang menjadi program atau sesuatu yang ditawarkan kepada publik.
Sementara itu, pengamat Komunikasi Politik dari Unpad, Suwandi Sumartias mengatakan, kebijakan surat edaran itupun lebih pada politik. Hanya partai-partai tertentu saja yang mendukung dia. Tapi kelompok partai yang relatif fundamentalis, sebenarnya memisahkan diri.
“Masalahnya, di kalangan ulama sendiri ada beberapa yang pragmatis. Tatkala iming-iming secara ekonomi, bantuan dana untuk pesantren, (menjadi) berbalik. Dan ini bukan sejarah baru. Karena di politik Orde Baru juga demikian. Bagi mereka, politik adalah transaksi,” imbuhnya.
Meski demikian, kebijakan yang dilakukannya tetap bisa menghasilkan suara. Karena tokoh-tokoh yang berbasis budaya maupun agama tentunya mempunyai massa. Walaupun memang di Jawa Barat, ulama menjadi vote getter untuk mendulang suara.
“Cuma apakah jangan-jangan karena ini transaksional, tujuan politik tidak kena. Lagi-lagi, demokrasi Indonesia  itu belum siap,” ungkapnya.
Dukungan dari Masyarakat
“Saya setuju toleransi. Itu memang harus digalakan, bagaimana masyarakat tidak menganggap perbedaan sebagai hal yang luar biasa. Dan itu sudah terjadi di Purwakarta, kami orang yang toleran,” tutur Teti Kusmiati (25) warga Campaka, Kabupaten Purwakarta.
Namun ia berharap, toleransi yang digembar-gemborkan tidak mengarah pada pendangkalan akidah seperti yang dikhawatirkan sebagian orang. “Islam ya Islam, Kristen ya Kristen, tetap pada jalannya masing-masing, tapi kami saling menghormati dan hidup berdampingan,” ungkapnya.
Dukungan pun datang dari para tokoh agama. Seksi Hubungan antar Agama (Hag), Gereja Yos Sudarso Purwakarta, Zakarias Kayus mengatakan bahagia dan bangga jadi warga Purwakarta yang menjunjung toleransi.
“Purwakarta kota damai, bermasyarakat, dan indah. Kami tidak tahu apa agama mereka, begitupun mereka. Kehidupan kami sehari-hari indah, tidak terlihat adanya perbedaan,” ujarnya.
Sebagai penganut Katolik, Zakarias mengaku, tidak mengalami diskriminasi. Padahal masyarakat Purwakarta didominasi muslim. Apalagi dalam acara keagamaan, muslim maupun agama lainnya kerap membantu menyukseskan acara Katolik.
Ia teringat saat tabligh akbar beberapa waktu lalu. Ia dan tokoh agama yang lain satu mobil berkeliling Purwakarta. Dan di saat Natal, semua tokoh berbagai agama ikut mengamankan bersama TNI, Polri, dan LSM seluruh agama.
“Semakin betah hidup di Purwakarta. Semuanya enak. Kalau ada masalah, didiskusikan dan mencari win-win solution. Kalau ada pandangan negatif terhadap agama lain, kami memberikan pengertian bukan itu maksudnya,” terangnya.
Salah satu keberhasilan toleransi di Purwakarta adalah ketika kabupaten tersebut mengadakan acara besar yang dihadiri puluhan ribu orang. Setiap acara tersebut tidak pernah ada gesekan. Karena semua pihak merapatkan barisan dan mendukung kesuksesan acara.
“Ulang tahun Purwakarta, Lebaran, Natal, semua pestanya muslim, pestanya Katolik,” imbuhnya.
Acep Munawar, pengurus Pondok Pesantren Al Hikamus Salafiyah mengatakan, sama dengan pesantren NU lainnya, konsep pesantrennya untuk menjaga kemaslahatan ummat, kebhinekaan dan ke-Indonesia-an.
“Coba cek sekarang yang demo, dari pesantren bukan? Jawabannya bukan. Bisa dibedakan mana yang santri dan mana yang bukan,” tuturnya.
NU, sambung Acep, berdakwah dengan cara yang santun. Bahkan para kiai berdakwah dengan penuh toleransi, bukan provokasi. Kalau bernada provokasi, dikhawatirkan Indonesia akan seperti Suriah.
“Kami mengajarkan ngaji, bersosial. Bahkan jangankan orang Islam, kalau kita punya makanan, maka kita wajib memberi kepada tetangga kita yang non muslim. Apalagi jika mereka dalam keadaan kelaparan,” imbuhnya.
Begitupun dengan tokoh agama Hindu, I Made Kandhi. Ia mengungkapkan, dalam keseharian dirinya menebarkan toleransi dan kedamaian. Karena dalam ajarannya pun, Hindu mengajarkan toleransi.
Toleransi ini perlu dijaga karena Indonesia sangat majemuk.
Seperti yang disampaikan founding father Indonesia, Soekarno:
Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

TAMAT

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Reni Susanti, kontributor Kompas.com di Bandung, sebagai pemenang program Fellowship Liputan Keberagaman 2016 yang diinisiasi oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).