Toleransi di Tanah Intoleran
Oleh: Reni Susanti
http://regional.kompas.com/read/2016/11/16/16010011/toleransi.di.tanah.intoleran.1.?page=3
PURWAKARTA, KOMPAS.com
- Perdebatan sengit terjadi di
Gedung Dakwah, Jalah Ahmad Yani, Purwakarta. Para ulama tengah beradu argumen
tentang Syiah. Sekelompok ulama setuju dengan rencana gerakan anti-Syiah di
daerahnya. Sekelompok ulama lainnya menolak gerakan anti-Syiah karena potensi
konfliknya besar.
Perdebatan semakin panas. Setiap
ulama kukuh dengan pendiriannya masing-masing. Di antara para ulama tersebut
terlihat Ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) Purwakarta, KH M John
Dien Thahir.
John Dien mengernyitkan dahi.
Sesekali dia mengambil air minum di tengah perdebatan panjang yang berlangsung
alot ini.
“Kayak mau perang,” ucapnya
menggambarkan perdebatan tentang anti-Syiah di Purwakarta, 2015 lalu.
Perdebatan ini menggambarkan apa
yang ada di luar. Saat itu, organisasi yang menamakan dirinya Aliansi Nasional
Anti Syiah (Annas) begitu masif menyuarakan anti Syiah. Bahkan mereka berniat
mendeklarasikan anti Syiah di beberapa daerah di Indonesia.
Annas semakin percaya diri ketika
salah satu daerah di Jawa Barat melarang peringatan Asyura oleh kaum muslim
Syiah daerahnya, Oktober 2015 lalu. Tekad mereka untuk menyuarakan anti-Syiah
di Indonesia pun semakin kuat.
Perdebatan juga terjadi di media
sosial. Setidaknya kata “Syiah” digunakan netizen lebih dari 530.000 kali
selama Januari-Oktober 2015. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, kata Syiah
maupun tagar anti-Syiah nyaris tak terdengar.
Salah satu bidikan Annas saat itu
adalah Purwakarta. Rencananya, mereka akan menggelar deklarasi, Minggu, 15
November 2015, di Aula Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Purwakarta.
Surat Edaran
Tiga hari sebelum deklarasi
dilakukan, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menggelar konferensi pers di
kantornya. Ia memperlihatkan dan membaca surat edaran nomor 450/2621/Kesra
tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan.
Surat itu berbunyi: “Dalam rangka
memupuk sikap toleransi di tengah-tengah keberagaman dalam beragama dan
keyakinan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dalam Pasal 29, bahwa hak memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai dengan
agama dan keyakinan masing-masing merupakan hak yang paling asasi dimiliki
seluruh umat manusia dan dilindungi oleh negara.
Sehubungan dengan hal tersebut,
Pemkab Purwakarta bersama jajaran TNI dan Polri menjamin seluruh pendudukKabupaten
Purwakarta untuk dapat melaksanakan peribadatan sesuai dengan gama dan
keyakinan masing-masing, selama kegiatan peribadatan dimaksud tidak
bertentangan dengan asas ketertiban umum.”
Surat tersebut ditandatangani Bupati
Purwakarta, 10 November 2015, dan berlaku sejak surat tersebut ditandatangani.
Dedi beralasan, surat ini keluar
karena ia melihat ada tanda-tanda perbedaan paham di daerahnya yang jika
dibiarkan bisa menimbulkan konflik. Padahal kebebasan beribadah jelas diatur
dalam UUD 1945.
Pasca-surat edaran, Annas
membatalkan rencana aksinya, sedangkan Dedi menguatkan surat edaran Jaminan
Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan dengan mengeluarkan Surat Keputusan
pendirian Satuan Tugas Toleransi Agama/Kepercayaan.
Tugas satgas toleransi
Untuk menakhodai Satgas ini, Dedi
memilih Ketua FKUB, M John Dien Thahir. Meski menerimanya, John Dien mengaku
kebingungan karena Satgas ini lembaga baru di Indonesia.
“Kami bingung harus mencontoh ke
mana. Akhirnya kami mencoba membuat arahnya sendiri,” tuturnya.
Satgas toleransi terdiri dari 30
orang yang terdiri dari tokoh enam agama yang diakui negara beserta ormas-ormas
keenam agama tersebut. Ke-30 orang tersebut menyebar di seluruh kecamatan.
Inti dari tugasnya yakni
memfasilitasi, pembinaan, berkonsultasi, menyelesaikan, dan memberikan
rekomendasi terkait berbagai persoalan toleransi kehidupan beragama/kepercayaan
di masyarakat. Pihaknya pun berkewajiban memberikan rekomendasi dan laporan
terkait persoalan toleransi ke Pemkab Purwakarta.
Tak hanya itu, tugas dari Satgas
adalah menanamkan toleransi sejak dini. Karena itu, berbagai kegiatan terus
digelar.
Misalnya pelaksanaan malam takbiran
bersama seluruh agama, pembagian takjil gratis, pelaksanaan berlombaan olahraga
yang diikuti seluruh agama, kelas ideologi untuk menangkal gerakan yang
menyimpang dari NKRI dan Pancasila.
Saat ini, sambung John Dien,
pihaknya tengah menyiapkan 482 pendidik agama untuk program pengkajian kitab
masing-masing agama untuk pelajar di Purwakarta. Guru-guru ini nantinya akan
mendapat honor Rp1 juta-1,5 juta per bulan. Selain itu, Satgas Toleransi tengah
menyiapkan rencana youth camp.
Nominator
Kebijakan pendirian satgas membuat
Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menominasikan
Purwakarta sebagai daerah paling toleran di Indonesia.
Bupati Purwakarta pun mendapatkan
penghargaan dari Komnas HAM terkait pemerintah daerah yang berdedikasi dalam
perlindungan dan pemenuhan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bahkan Kementerian Agama akan
menjadikan program pengkajian kitab kuning untuk muslim, serta berbagai kitab
lainnya untuk masing-masing agama non muslim sebagai role model dan diterapkan
di Indonesia.
Toleransi di Tanah Intoleran
Masuknya Purwakarta menjadi
nominator daerah paling toleran berseberangan dengan penilaian terhadap Jawa
Barat sendiri yang dinilai provinsi paling intoleran.
Kongres Kebebasan Beragama 2016
menyebutkan, Jawa Barat menduduki peringkat pertama provinsi intoleran atau
menolak kebebasan beragama. Sejak 2011, Jawa Barat berkali-kali masuk daftar
teratas dengan masyarakat yang tidak menghargai kebebasan beragama.
Komisioner Komnas HAM untuk bidang
Kebebasan Beragama, Imdadun Rahmat mengatakan, masih bertahannya Jawa Barat
sebagai wilayah intoleran karena berbagai faktor. Hal paling kentara adalah
belum adanya formula efektif untuk masyarakat dan pemerintah menyelesaikan
konflik agama.
Hal senada diungkapkan Direktur The
Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid. Mengacu pada aduan yang diterima
lembaganya, ada 46 aduan pelanggaran kebebasan beragama di Jabar. Penyebabnya,
karena masifnya pertumbuhan kelompok intoleran dan kecilnya kesadaran terhadap
hak kebebasan beragama.
Penelitian sebelumnya pernah
dilakukan Universitas Paramadina yang menyebutkan, dalam kurun waktu 1990-2008
terjadi 832 insiden konflik keagamaan. Aksi kekerasan dominan di beberapa
daerah.
Jawa Barat menduduki posisi kedua
dengan 102 kasus, terdiri dari 57 aksi damai dan 45 aksi kekerasan, di bawah
Sulawesi Tengah dengan 76 kasus yang terdiri dari 28 aksi damai dan 76 aksi
kekerasan.
PURWAKARTA, KOMPAS.com
– Purwakarta dengan luas wilayah
971,72 km persegi atau sekitar 2,81 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa
Barat memiliki 892.634 penduduk yang memiliki agama beragam.
Catatan Dinas Kependuduk dan Catatan
Sipil (Disdukcapil) Purwakarta tahun 2016, mayoritas penduduk Purwakarta
beragama Islam sebanyak 883.744 orang, diikuti Kristen 6405 orang, Katolik
1.846, Budha 491 orang, Konghucu 9 orang, dan satu orang menganut kepercayaan.
(Baca juga: Toleransi di Tanah Intoleran (1))
Ketua Satgas Toleransi
Agama/Kepercayaan, KH John Dien M Thahir mengatakan, keberagaman agama di
Purwakarta membuat kehidupan beragama di Purwakarta dinamis. Meski dinamis,
persoalan yang melibatkan antar agama di kabupaten ini terbilang kecil.
“Tahun 2007-2008, ada persoalan
tempat ibadah gereja. Saat itu, sekelompok orang menuntut pendirian gereja ke
pengadilan karena diduga memalsukan KTP,” ungkap John Dien, belum lama ini.
Kasus tersebut dimenangkan Gereja
karena PTUN melihat gereja sudah mengantongi izin bupati sehingga proses ke
bawah dianggap selesai.
Kasus lainnya adalah Kristenisasi
dan Ahmadiyah. Kasus kristenisasi dilaporkan beberapa orang yang khawatir di
salah satu sekolah di Purwakarta terjadi Kristenisasi. Kasus tersebut
diselesaikan secara kekeluargaan.
Adapun kasus Ahmadiyah terjadi pada
2011. Ditandai dengan penutupan masjid Ahmadiyah dan pengucapan kembali kalimat
syahadat oleh 31 dari 89 anggota Ahmadiyah Purwakarta.
Menurut John Dien, persoalan yang kerap terjadi di Purwakarta adalah internal agama Islam sendiri.
Menurut John Dien, persoalan yang kerap terjadi di Purwakarta adalah internal agama Islam sendiri.
Hal ini dikarenakan cara berdakwah
yang berbeda, misalnya Manhajus Solihin, FPI, dan Hizbut Tahrir Islam (HTI)
memiliki cara dakwah lebih keras.
“Berbeda dengan NU yang relatif
lebih sejuk dan cair, sehingga kerap dianggap lelet oleh kelompok lainnya,”
ungkapnya.
Medan hisbah
Suara adzan Dzuhur menggema ketika
Ketua Majelis Dakwah Manhajus Sholihin, KH M Syahid Joban menemui Kompas.com
di pesantrennya, daerah Pasar Rebo, Purwakarta. Berbeda dengan hari biasanya,
siang itu, pesantren yang dilengkapi dengan sekolah umum tersebut sangat sepi.
“Kalau setelah Idul Adha, kami
libur,” tutur Joban memulai pembicaraan.
Joban lalu bercerita kenapa dirinya
begitu gigih melawan kebijakan Bupati Purwakarta, termasuk dalam hal toleransi.
Ia menilai, konsep toleransi yang diusung Bupati salah kaprah.
“Bupati melakukan anekaragam
kemusyrikan dibungus dengan toleransi. Contoh Ramadan toleran. Warung buka 24
jam. Bupati gagal paham dalam toleransi,” ungkapnya dengan suara meninggi.
Jika pendirian Satgas ini untuk
kerukunan, pihaknya setuju. Tapi jika tujuannya mengebiri perjuangan umat Islam
dan memuluskan ritual-ritual penyimpangan akidah, tidak ada toleransi dalam hal
itu.
Bukan tanpa alasan Joban berpikir
hal tersebut karena kebijakan Bupati Purwakarta selama ini dianggapnya telah
menyimpang dari syariat Islam, seperti soal kereta kencana, Nyi Roro Kidul,
kain poleng, dan patung, lebih mengarah ke upaya hinduisasi Islam di
Purwakarta.
Tak hanya itu, berbagai kegiatan
kebudayaan yang diusung Dedi kental dengan unsur Sunda Wiwitan. Bahkan Dedi pun
meminta Presiden Joko Widodo mengakui agama leluhur seperti
Kejawen,Sunda Wiwitan, dan Mentawai. Karena Padjadjaran yang sekarang bernama
Jawa Barat mempunyai sistem pluralisme yang mengakui semua agama benar.
“Kami menerima pluralitas, tapi
menolak pluralisme, yang meyakini semua agama benar. Bahkan Dedi pun melarang
ulama berdakwah provokatif, ini bahaya. Apa batasan provokatif,” tuturnya.
Dulu, sambung Joban, Purwakarta
adalah kota santri, namun menurut dia, telah rusak begitu Dedi Mulyadi menjabat Bupati Purwakarta. Untuk
mengembalikan hal tersebut, pihaknya akan mengumpulkan ulama dan mendirikan
Forum Ulama Purwakarta sekaligus membuat berbagai kegiatan tandingan untuk
menegakkan amar maruf nahi munkar.
“Purwakarta sudah bukan medan dakwah
lagi. Tapi medan hisbah, medan amar maruf nahi munkar. Tidak bisa dibiarkan
lagi,” ucapnya.
Dalam forum tersebut, pihaknya akan
menyiapkan calon bupati yang akan bertarung di Pilkada 2018. Kontrak politik pertama yang
harus dilakukan calon bupati tersebut adalah menghancurkan patung dan kebijakan
Dedi yang menyimpang.
PURWAKARTA, KOMPAS.com
– Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bergegas. Ia mempercepat
langkahnya dengan wajah yang terlihat kesal.
“Terserah agama mereka apa, tugas
kita sebagai pemerintah adalah menguruskan KTP mereka. Mereka harus punya KTP,
KK, akta kelahiran, akta nikah, dan berbagai catatan kependudukan!” ucapnya
dengan nada tinggi kepada sejumlah pejabat di Cimahi, beberapa waktu lalu.
Kekesalan Dedi memuncak ketika
mendapat kabar sekelompok penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu, Cimahi,
belum mengantongi identitas kependudukan akibat agama leluhur yang dianutnya.
Padahal Cimahi dipimpin oleh Golkar yang berada di
bawah naungannya.
“Banyak alasan mengapa saya membela
penganut agama leluhur,” tutur Dedi.
Baginya, penganut agama leluhur
adalah penjaga adat, tata nilai, tata kelola alam, dan bahasa. Bahasa daerah
buat mereka bukan hanya sekedar bahasa manusia, tapi bahasanya dengan Tuhan.
Begitupun dengan lingkungan.
Contohnya Cipta Gelar Sukabumi, dan Baduy Banten, merekalah yang menjaga hutan-hutan
tersebut. Jika agama mereka hilang, maka bahasa pun bisa hilang. Habitatnya
bisa hancur, hutan hancur, dan sumber air pun akan hancur.
“Karena kita butuh mereka, keyakinan
mereka harus kita lindungi. Selama puluhan tahun mereka hidup menderita. Mereka
tidak punya KK, KTP, akte kelahiran, akte nikah. Mereka menjadi penduduk ilegal
di negeri ini yang tidak mempunyai hak-hak pribadi,” tegasnya.
Itulah mengapa, 2015 lalu dirinya
menyurati Presiden Jokowi dan meminta agama
leluhur diakui negara.
(Baca juga: Toleransi di Tanah Intoleran (1))
Pelihara budaya
KOMPAS.com/RENI
SUSANTI Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memegang cepot, salah satu karakter
dalam wayang Sunda.
Dedi mengaku tidak peduli dengan
anggapan orang bahwa dirinya terlalu Sunda Wiwitan dan mengarah ke hinduisasi.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan olehnya seperti patung, kain poleng, itu
tak lebih dari sekedar budaya.
“Saya ini menjual budaya sebagai
ikon Purwakarta. Saya membuat patung sebagai estetika bukan untuk disembah,”
tuturnya.
Jika pengkritik tersebut konsisten,
seharusnya jangan patung pewayangan saja yang dipersoalkan, patung pahlawan,
patung Harimau Lodaya di Kepolisian juga tidak boleh ada.
Begitu pun anggapan wajah Purwakarta
seperti Bali. Dari hasil penelusurannya dengan mengumpulkan akademisi,
peninggalan peradaban Sunda hampir tidak ada. Hanya ada beberapa situs.
“Dalam pertemuan tokoh Sunda dan
Bali, disebutkan Bali itu Sunda kecil. Sunda besarnya berada di tanah Sunda,”
tuturnya.
Sebenarnya, sambung Dedi, yang
dikhawatirkan pengkritiknya bukan Bali, tapi Hinduisasinya.
“Bali bukan Hindu. Bali adalah Bali.
Justru kita ini harus bangga pada orang Bali. Orang Bali berhasil melakukan
balisasi Hindu,” tuturnya.
Karena kebijakannya tersebut, Dedi
mengaku, ancaman kerap menghampiri. Bahkan setelah ia mengeluarkan surat
edaran, ancaman dari beberapa daerah semakin menjadi.
“Enam bulan lalu saat perjalanan ke
Garut, mobil belakang dilempar batu. (Mobil) depan dihantam, dan mobil saya
dikejar 25 orang mengendarai motor sambil bawa pedang,” tuturnya.
Pernah juga di Bandung Barat ia
dicegat 50 orang. Mereka tidak bicara, tapi memukuli mobil. Untungnya, pada dua
kejadian tersebut, ada polisi.
“Surat edaran ini sebenarnya
didukung banyak pihak. Tapi dukungannya dalam diam. Sebagai seorang pemimpin,
saya harus tegak di tengah hujan batu,” ucapnya.
Perhatikan pengganti Dedi
Pemerhati Politik Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, dalam pemerintahannya, Dedi
mengintegrasikan budaya dan agama, dalam pola hubungan antar masyarakat.
“Secara prinsipil (itu) basis dari
kebhinekaan. Pancasila mengajarkan toleransi, dan
lain-lain. Persoalannya, secara personal Dedi kerap memperlihatkan dirinya
mengarah ke Sunda Wiwitan meskipun ia seorang muslim. Sehingga orang melihat
Dedi bukan penganut agama yang baik,” tuturnya.
Selama ini, orang-orang di
Purwakarta tidak berani melawan Dedi karena dirinya banyak membantu dan ia
memiliki power sebagai penguasa. Namun setelah tidak berkuasa, orang-orang yang
diam selama ini bisa bergerak melakukan perlawanan.
“(Tugas) Satgas harus
merasionalisasikan hal ini. Saat ini, orang takut (pada Dedi). Tapi begitu dia
enggak jadi (turun dari bupati/gagal jadi Gubernur), orang berani menolak,”
tuturnya.
Seperti di Bekasi. Di bawah pimpinan
orang PDIP, Bekasi memiliki patung. Begitu pemimpinnya diganti oleh orang yang
lebih agamis, patung langsung dihancurkan.
“Kalau itu terjadi (di Purwakarta),
secara prinsip dia enggak berhasil. Orang menunggu waktu. Karenanya, dia harus
berpikir pengganti dia harus yang seirama dengan apa yang dia lakukan
sekarang,” tuturnya.
KOMPAS.COM/IRWAN
NUGRAHA Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menghadiri acar seren taun di Kampung
Adat Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, pada Sabtu (24/9/2016) malam.
Gayanya ini bisa menjadi role
model jika dia mampu merasionalisasikan apa yang menjadi program atau
sesuatu yang ditawarkan kepada publik.
Sementara itu, pengamat Komunikasi
Politik dari Unpad, Suwandi Sumartias mengatakan, kebijakan surat edaran itupun
lebih pada politik. Hanya partai-partai tertentu saja yang mendukung dia. Tapi
kelompok partai yang relatif fundamentalis, sebenarnya memisahkan diri.
“Masalahnya, di kalangan ulama
sendiri ada beberapa yang pragmatis. Tatkala iming-iming secara ekonomi,
bantuan dana untuk pesantren, (menjadi) berbalik. Dan ini bukan sejarah baru.
Karena di politik Orde Baru juga demikian. Bagi mereka, politik adalah
transaksi,” imbuhnya.
Meski demikian, kebijakan yang
dilakukannya tetap bisa menghasilkan suara. Karena tokoh-tokoh yang berbasis
budaya maupun agama tentunya mempunyai massa. Walaupun memang di Jawa Barat,
ulama menjadi vote getter untuk mendulang suara.
“Cuma apakah jangan-jangan karena
ini transaksional, tujuan politik tidak kena. Lagi-lagi, demokrasi
Indonesia itu belum siap,” ungkapnya.
(Baca juga: Toleransi di Tanah Intoleran (2))
Dukungan dari Masyarakat
“Saya setuju toleransi. Itu memang
harus digalakan, bagaimana masyarakat tidak menganggap perbedaan sebagai hal
yang luar biasa. Dan itu sudah terjadi di Purwakarta, kami orang yang toleran,”
tutur Teti Kusmiati (25) warga Campaka, Kabupaten Purwakarta.
Namun ia berharap, toleransi yang
digembar-gemborkan tidak mengarah pada pendangkalan akidah seperti yang
dikhawatirkan sebagian orang. “Islam ya Islam, Kristen ya Kristen, tetap pada
jalannya masing-masing, tapi kami saling menghormati dan hidup berdampingan,”
ungkapnya.
Dukungan pun datang dari para tokoh
agama. Seksi Hubungan antar Agama (Hag), Gereja Yos Sudarso Purwakarta,
Zakarias Kayus mengatakan bahagia dan bangga jadi warga Purwakarta yang
menjunjung toleransi.
“Purwakarta kota damai,
bermasyarakat, dan indah. Kami tidak tahu apa agama mereka, begitupun mereka. Kehidupan
kami sehari-hari indah, tidak terlihat adanya perbedaan,” ujarnya.
Sebagai penganut Katolik, Zakarias
mengaku, tidak mengalami diskriminasi. Padahal masyarakat Purwakarta didominasi
muslim. Apalagi dalam acara keagamaan, muslim maupun agama lainnya kerap
membantu menyukseskan acara Katolik.
Ia teringat saat tabligh akbar
beberapa waktu lalu. Ia dan tokoh agama yang lain satu mobil berkeliling
Purwakarta. Dan di saat Natal, semua tokoh berbagai agama ikut mengamankan
bersama TNI, Polri, dan LSM seluruh agama.
“Semakin betah hidup di Purwakarta.
Semuanya enak. Kalau ada masalah, didiskusikan dan mencari win-win solution.
Kalau ada pandangan negatif terhadap agama lain, kami memberikan pengertian
bukan itu maksudnya,” terangnya.
Salah satu keberhasilan toleransi di
Purwakarta adalah ketika kabupaten tersebut mengadakan acara besar yang
dihadiri puluhan ribu orang. Setiap acara tersebut tidak pernah ada gesekan.
Karena semua pihak merapatkan barisan dan mendukung kesuksesan acara.
“Ulang tahun Purwakarta, Lebaran, Natal, semua pestanya muslim,
pestanya Katolik,” imbuhnya.
Acep Munawar, pengurus Pondok
Pesantren Al Hikamus Salafiyah mengatakan, sama dengan pesantren NU lainnya,
konsep pesantrennya untuk menjaga kemaslahatan ummat, kebhinekaan dan
ke-Indonesia-an.
“Coba cek sekarang yang demo, dari
pesantren bukan? Jawabannya bukan. Bisa dibedakan mana yang santri dan mana
yang bukan,” tuturnya.
NU, sambung Acep, berdakwah dengan
cara yang santun. Bahkan para kiai berdakwah dengan penuh toleransi, bukan
provokasi. Kalau bernada provokasi, dikhawatirkan Indonesia akan seperti
Suriah.
“Kami mengajarkan ngaji, bersosial.
Bahkan jangankan orang Islam, kalau kita punya makanan, maka kita wajib memberi
kepada tetangga kita yang non muslim. Apalagi jika mereka dalam keadaan
kelaparan,” imbuhnya.
Begitupun dengan tokoh agama Hindu,
I Made Kandhi. Ia mengungkapkan, dalam keseharian dirinya menebarkan toleransi
dan kedamaian. Karena dalam ajarannya pun, Hindu mengajarkan toleransi.
Toleransi ini perlu dijaga karena
Indonesia sangat majemuk.
Seperti yang disampaikan founding
father Indonesia, Soekarno:
“Negara Republik Indonesia ini
bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik
sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita
semua dari Sabang sampai Merauke!"
TAMAT
Tulisan berseri ini adalah hasil
liputan Reni Susanti, kontributor Kompas.com di Bandung, sebagai pemenang
program Fellowship Liputan Keberagaman 2016 yang diinisiasi oleh Serikat
Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar