Kamis, 07 Desember 2017

Antagonisasi Sufisme dan Agenda Deradikalisasi

Kolom

 https://news.detik.com/kolom/d-3759253/antagonisasi-sufisme-dan-agenda-deradikalisasi

Antagonisasi Sufisme dan Agenda Deradikalisasi

Irfan L. Sarhindi - detikNews
Antagonisasi Sufisme dan Agenda Deradikalisasi Tarekat Naqsabandiyah di Jombang (Foto: Enggran Eko Budianto/detikcom)
Jakarta - Hari Jumat lalu, sekelompok orang bersenjata menembaki dan meledakkan bom di sebuah masjid, 40 kilometer dari El-Arish, ibu kota Sinai Utara, Mesir. Dilaporkan 235 orang meninggal, lebih dari 130 orang luka-luka, termasuk anak-anak. Merespons kejahatan kemanusiaan tersebut, Presiden Mesir menyatakan perang terhadap para ekstremis. Kecaman terhadap kejahatan tersebut muncul dari pelbagai pihak di pelbagai belahan dunia. Dikutip dari Business Standard, Peter Gottschalk menegaskan kalangan sufi memang menjadi sasaran ISIS dan para ekstremis. Alasannya karena sufisme dianggap, secara sederhana, sesat dan menyesatkan.

Hal tersebut "wajar", sebetulnya, mengingat kalangan skripturalis-puritan mendasarkan pemahaman keberislamannya pada penafsiran leterlek terhadap al-Qur'an dan hadist. Apa-apa yang kontekstual mereka anggap berpotensi melenceng. Di sisi lain, sufisme menawarkan kelenturan dialog antara Islam dan budaya. Kelenturan inilah sebetulnya yang membuat sufisme memiliki potensi deradikalisasi sehingga bagi kalangan ekstremis, antagonisasi sufisme itu perlu. Seorang teman SMA saya yang baru hijrah misalnya, kemudian dengan getol mem-posting apa yang dia klaim sebagai "bukti-bukti" kesesatan sufisme.

Padahal, kalau kita melihat kepada sejarah, pujian atas Islam Indonesia yang damai, toleran, dan inklusif dalam banyak hal dipengaruhi oleh perkembangan sufisme. Ada kemiripan antara sinkretisme Jawa dengan Islam-sufistik yang menyebabkan Islam dengan mudah tersebar di Nusantara, yaitu filsafat manunggaling kawula-Gusti yang sebangun dengan paham wahdatul wujud. "Dari-Mu kami berasal, kepada-Mu pula kami kembali (menyatu)". Selain kemiripan tersebut, sufisme menawarkan kelenturan sehingga Islam dapat bersinergi dan berdialog dengan kultur setempat.

Dengan kelenturan itulah kemudian, Indonesia mengenal Islam sebagai agama yang disebarkan secara damai, dengan kultur setempat sebagai media: wayang, gamelan, lagu-lagu. Atau, Islam yang berani "menahan diri" dan "mengalah" demi maslahat umat manusia: studi kasus larangan menyembelih sapi sebagai kurban di Kudus untuk menghormati umat Hindu; atau arsitektur dan ornamen masjid yang mengkombinasikan warisan kultural masyarakat Hindu-Budha. Islam yang mengislamkan tanpa menyuruh para mualaf untuk menghancurkan produk budaya agama sebelumnya: Borobudur dan Prambanan, misalnya.

Islam-sufistik inilah yang kemudian dikultivasi di pesantren-pesantren: lembaga pendidikan Islam tertua dan terbanyak di Indonesia. Itu sebabnya sufisme atau tasawuf amat kental bagi kalangan tradisionalis: muslim sarungan, para santri. Mengaji belum akan membawa berkah jika belum dilengkapi proses penempaan batin ala riyadlah—ber-uzlah merentang jarak dari masyarakat untuk berpuasa dan berzikir, membersihkan hati dan menjemput petunjuk-Nya. Kekentalan tradisi sufisme di pesantren juga dapat dilacak melalui penempaan norma etika dan relasi kiai-santri, dan pembahasan kitab-kitab tasawuf semisal Ihya Ulumuddin dan al-Hikam.

Islam inilah yang menjadi ruh atas ketersenyuman wajah Islam Indonesia; ruh atas Islam sejuk di Tanah Air kita. Islam yang toleran dan moderat. Dan, dengan demikian sufisme dapat diposisikan sebagai (salah satu) tulang punggung kampanye deradikalisasi untuk setidaknya dua alasan. Pertama, seperti yang sudah disinggung di atas, sufisme memiliki kemampuan untuk mensinergikan Islam dengan kultur sehingga memungkinkan terjadinya akulturasi, menjadikan Islam adaptif terhadap konteks ruang dan waktu tanpa menghilangkan esensi dan substansi dari keberislaman itu sendiri.

Dengan demikian, Islam dimengerti tidak sebagai agama yang harus satu paham, tetapi dapat diekspresikan melalui pelbagai jalan-ijtihad. Sufisme melatih kita untuk kemudian menjadi arif atas perbedaan corak itu, dan menempatkan kredo 'keberagaman sebagai rahmat' dari Nabi Muhammad sebagai aturan main dasar. Misalkan, fiqh munakahah dalam Islam yang secara esensi tetap sama di pelbagai daerah di Indonesia tetapi dapat beragam dalam implementasi karena dikolaborasikan dengan budaya setempat: budaya culik mempelai di Lombok, budaya pingitan di Jawa, dan hal-hal seremonial lainnya.

Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah konsepsi jihad sebagai tazkiyatun nafs yang ditawarkan oleh sufisme. Dalam sufisme, jihad tidak diartikan sebagai memerangi orang lain tetapi sebagai proses memerangi nafsu dan kebinatangan diri sendiri; sebagai proses pembersihan diri dan jiwa demi naik kelas menuju maqom "lebih mulia ketimbang Malaikat". Dengan konsepsi ini, yang ditawarkan dan diajarkan sufisme sebetulnya perilaku otokritik dan instrospektif, sikap mau menahan diri, sikap merasa diri masih (selalu) jauh dari salih dan benar. Dalam konteks ini relevan untuk mengutip salah satu pernyataan Cak Nun yang terkenal, "Jangankan menuduh orang lain kafir, menganggap diriku sendiri muslim saja aku tidak berani."

Maka dari itu, tidak heran jika ada usaha antagonisasi sufisme oleh kalangan radikal-puritan. Ketika sufisme berhasil diantagonisasi, disesat-sesatkan, akan lebih mudah bagi mereka untuk membudidayakan Islam-doktriner yang literal. Persoalannya kemudian, dalam tradisi di tarekat dan di pesantren, ajaran yang disampaikan kadang melalui skema 'hafalan' dan transfer satu-arah guru-murid. Tanpa boleh bertanya, tanpa boleh mempertanyakan. Sehingga, tidak mendorong pendalaman dan pemaknaan.

Akibatnya, sebagian dari mereka menjadi sebatas pelaku ritual tanpa mengerti makna, substansi, alasan, dan tujuan dari ritual-ritual tersebut. Alhasil, ketika 'ritual' itu dipertanyakan melalui semangat purifikasi akidah, orang-orang ini kalau tidak kelabakan ya terpengaruh. Berangkat dari sana, menjadi penting untuk mempersenjatai praktik tarekat dan sufisme dengan pendalaman makna, esensi, dan substansi ajaran. Caranya, dengan membangun iklim kondusif bagi critical thinking dan dialog.

Kedua hal tersebut, bagi saya, sama sekali tidak kontradiktif terhadap sufisme. Malah, ia sebangun dengan prinsip experiential learning ala Ibnu Khaldun. Abu Hamid al-Ghazali, sesepuh tasawuf kita, bahkan mengklasifikasi muslim ke dalam tiga kelas. Kelas terbawah adalah muslim pen-taqlid yang sami'na wa atha'na tanpa bertanya, tanpa mengerti. Kelas kedua adalah mereka yang bertanya dan berusaha memahami. Kelas tertinggi hanya milik para Nabi dan Rasul yang mendapat guidance dan bisikan langsung dari Maha Pemilik Ilmu.

Menggarisbawahi kelas terbawah, kelas inilah sebetulnya yang rentan menjadi korban indoktrinasi dan radikalisasi. Oleh sebab itu, mempertimbangkan kualitas sufisme sebagai metode deradikalisasi, alangkah baiknya juga dipersenjatai dengan kemampuan bertanya dan mempertanyakan. Biar sufistik jiwanya, mendalam-mengakar pemahamannya.

Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London, associate researcher Akar Rumput Strategic Consulting

Rabu, 16 Agustus 2017

AGAMA DAN NEGARA


Di Daerah Ini Warga Upacara Bendera di Dalam Gereja

 http://regional.kompas.com/read/2017/08/16/13070851/di-daerah-ini-warga-upacara-bendera-di-dalam-gereja
Kontributor Kupang, Sigiranus Marutho Bere
Kompas.com - 16/08/2017, 13:07 WIB
Upacara bendera dan misa di dalam Gereja Santa Maria Fatima Betun, Rabu (16/8/2017). Terlihat para pastor dan umat menghormati bendera merah putih
Upacara bendera dan misa di dalam Gereja Santa Maria Fatima Betun, Rabu (16/8/2017). Terlihat para pastor dan umat menghormati bendera merah putih(Dokumen Herry Klau)
KUPANG, KOMPAS.com - Ribuan umat Katolik di Betun, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengikuti misa di Gereja Santa Maria Fatima Betun, Rabu (16/8/2017).
Misa yang dipimpin oleh Deken Malaka Romo Edmundus Sako, Pr itu dihadiri oleh Wakil Bupati Malaka Daniel Asa, sejumlah Anggota DPRD Malaka bersama para pimpinan Organisasi Perangkat Darah (OPD) Kabupaten Malaka, para camat, kepala desa, guru dan para siswa.
Perayaan misa kali ini bertajuk misa negara terlihat berbeda seperti biasanya, karena dirangkaikan dengan pembacaan teks proklamasi, penghormatan kepada bendera merah putih dan pekikan kemerdekaan oleh pastor dan diikuti semua peserta.
Teks proklamasi, dibacakan oleh Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Malaka Bernadetha Kiik. Bendera merah putih berukuran kecil yang sudah berada di depan altar dipegang oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Malaka Ferdinandus Rame, lalu dilakukan penghormatan secara bersama oleh pastor Edmundus, para pejabat dan seluruh umat yang hadir.
Usai penghormatan bendera, dilakukan pemberkatan bendera merah putih yang akan dikibarkan besok, oleh Pastor Edmundus.
Baca juga: Tak Mau Pasang Bendera Merah Putih, Minimarket di Ngawi Ditutup Warga
Pastor Edmundus Sako mengatakan, perayaan misa yang dibarengi upacara bendera di dalam gereja ini baru pertama kali digelar di Kabupaten Malaka. Kegiatan ini sebut dia,  sebagai ungkapan bahwa antara gereja dan bangsa saling mendukung dalam setiap kegiatan.
"Kita apresiasi terhadap Pemda Malaka dan gereja tetap mendukung bangsa untuk pertahankan NKRI dan merah putih. Apalagi Malaka berada di garis perbatasan. Saya juga sanga terkesan dan juga mengingatkan bahwa seremonial ini menunjukkan kita itu katolik 100 persen dan Indonesia 100 persen," ucapnya.

KISAH KEJUJURAN ORANG MUSLIM

KEJUJURAN SEORANG GURU MUSLIM

Kisah Badrun Mencari Pemilik Uang yang Ditemukannya 11 Tahun Lalu

 http://regional.kompas.com/read/2017/08/16/11394481/kisah-badrun-mencari-pemilik-uang-yang-ditemukannya-11-tahun-lalu
Kompas.com - 16/08/2017, 11:39 WIB
Pertemuan antara Badrun dengan Iptu Sugeng Iryanto
Pertemuan antara Badrun dengan Iptu Sugeng Iryanto (SURYA/IST)
MALANG, KOMPAS.com - Setelah 11 tahun, akhinya Badrun Sinbad, guru SMKN 3 Kota Bima,  bisa mengembalikan amplop gaji Kanit Resmob Polres Malang, Iptu Sugeng Iryanto. Dia mengaku sengaja mencari cara untuk kembali ke Malang dan mengembalikan amplop yang ia temukan.
Badrun mengaku menemukan amplop tersebut di sebuah masjid di Jalan Polowijen, Malang, Jawa Timur, 11 tahun yang lalu.
"Saya dulu kuliah di STT Stikma Internasional Malang angkatan 2000. Saat 2006 itu saya sudah lulus dan mau kembali ke kampung halaman di Bima. Saat mau berangkat ke terminal pukul 17.00 WIB, saya sempatkan shalat asar meskipun agak terlambat. Saat saya akan meninggalkan masjid itulah saat saya menemukan sebuah amplop yang tertulis sejumlah nominal uang," ucapnya ketika dihubungi Surya.co.id,  Selasa (15/8/2017).
Badrun kebingungan karena saat itu hanya tinggal dirinya sendiri di dalam masjid. Guru Kejuruan Multimedia itu sempat menanyai beberapa orang di sekitar masjid tentang nama yang tertera di amplop gaji tersebut.
"Namanya jelas ada Brigadir Sugeng Iryanto. Tapi ketika saya tanyakan ke sana ke mari, tidak ada yang mengenal seseorang dengan nama itu," ujarnya.
Dalam keadaan kebingungan,  Badrun pun memutuskan untuk membawa amplop itu pulang ke Bima karena dia juga harus segera mengejar bus di terminal.
"Ketika sudah di Bima, setiap hari saya berpikir bagaimana caranya untuk bisa kembali ke Malang dan mengembalikannya pada pemilik amplop. Saya yakin saja akan kembali ke Malang dan akan bertemu dengan pemiliknya," kata dia.
Baca juga: Kisahnya Viral, Ini Kata Sopir Taksi Online yang Kembalikan Ponsel Penumpangnya
Badrun pun berkali-kali mencari di internet namun tidak juga ketemu. Dia yang saat itu belum familiar dengan Facebook juga terpaksa berselancar di dalamnya untuk menemukan Sugeng.
"Cara terakhir, saya berpikir untuk ikut pelatihan di Malang, di VEDC. Dengan begitu saya akan kembali ke Malang dan ada momen untuk mencari orangnya secara langsung," ucapnya.
Setelah 11 tahun, pada awal Agustus 2017 akhirnya Badrun kembali ke Malang untuk pelatihan keahlian ganda di VEDC. Badrun pun mencari waktu luang untuk menemukan pemilik amplop gaji tersebut.
"Saya cari di masjid itu lagi, saya juga cari di warung dekat situ tempat saya biasa makan, hingga saya cari di rumah kos saya dulu. Ibu kos pun mengarahkan saya pada seorang polisi yang merupakan tetangganya, yang mungkin bisa membantu," katanya.
Sayangnya, polisi bernama Hadi itu bertugas di Polres Batu. Namun anaknya yang juga polisi, bertugas di Polres Malang Kota. Hadi dan anaknya pun berjanji membantu Badrun.
"Esok harinya, jam 21.00 saya mendapat telepon dari Pak Hadi yang mengatakan bahwa dia menemukan Sugeng Iryanto yang saya cari. Beliau juga meminta saya segera ke rumahnya karena Pak Sugeng tidak bisa ditemui besok. Ya sudah saya langsung terburu-buru ke rumah Pak Hadi," katanya.
Baca juga: Seorang PNS Kembalikan Uang Rp 86,2 Juta yang Ditemukannya di Jalan
Saat itu akhirnya Badrun mengembalikan amplop gaji milik Sugeng dan mengaku merasa sangat lega.
"Setiap hari saya kepikiran, orang yang gajinya hilang ini pasti sangat membutuhkan uangnya. Apalagi pasti dia punya keluarga, punya anak yang membutuhkan uang itu. Setiap hari saya kepikiran," ungkapnya.
Badrun mengaku tidak pernah berpikir untuk menggunakan uang dalam amplop itu untuk kebutuhannya.
"Amplop itu tidak pernah saya apa-apakan, selalu saya simpan di dalam lemari. Istri saya juga tidak pernah bertanya. Pokoknya saya bertekad harus bisa mengembalikan uang itu," tuturnya.
Ia juga menolak ketika Sugeng akan memberikan uang itu padanya. "Buat apa saya simpan dan cari pemiliknya sampai 11 tahun lamanya jika uang itu malah buat saya," ujarnya lalu tertawa pelan.
Baca juga: Subhanallah, 11 Tahun yang Lalu? Dan Uang Gaji Saya Kembali...
Seperti diberitakan sebelumnya, seorang polisi bernama Iptu Sugeng Irwanto, dibuat takjub oleh kembalinya slip gaji miliknya yang hilang 11 tahun lalu.  Ternyata, uang itu jatuh di masjid saat dia menjalankan shalat Ahar.
Namun penemunya, Badrun Sinbad, harus segera pulang ke kota Bima, Nusa Tenggara Barat.  Karena itu, dia pun membawa serta amplop tersebut dan menyimpannya selama 11 tahun, sampai akhirnya dia punya kesempatan ke Malang dan mencari pemilik slip gaji ini. (Surya/Neneng Uswatun Hasanah)
Artikel ini sudah tayang di Surya dengan judul Guru Badrun Cari Momen Kunjungi Malang untuk Kembalikan Amplop yang Ditemukannya 11 Tahun Lalu




"Subhanallah, 11 Tahun yang Lalu? Dan Uang Gaji Saya Kembali..."

 http://regional.kompas.com/read/2017/08/16/07215581/-subhanallah-11-tahun-yang-lalu-dan-uang-gaji-saya-kembali--
Kompas.com - 16/08/2017, 07:21 WIB
Pertemuan antara Badrun dengan Iptu Sugeng Iryanto
Pertemuan antara Badrun dengan Iptu Sugeng Iryanto (SURYA/IST)
MALANG, KOMPAS.com – Ponsel Iptu Sugeng Iryanto bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Panggilan itu berasal dari Brigadir Didik, anggotanya di Satresmob Polres Malang Kota.
Sugeng tak menyangka kalau panggilan saat jam istrahat kantor pada Kamis (10/8/2017) itu menjadi awal dimulainya kisah yang tak akan terlupakan oleh Sugeng.
Dalam pembicaraan di saluran telepon, Bripka Didik menanyakan ke Sugeng apakah dirinya pernah kehilangan uang gaji berserta slipnya di sebuah masjid.
Mendengar pertanyaan itu, ingatan Sugeng kembali pada tahun-tahun sekitar 2005 dan 2006. Sambil mengingat pasti tahunnya, Sugeng membenarkan kalau dirinya pernah kehilangan gaji dan slipnya.
"Iya, benar," kata Sugeng.
Didik lantas menyebutkan bahwa dirinya sedang bersama seorang pria paruh baya bernama Muhammad Badrun dan ingin bertemu dengan Sugeng. Badrun ingin bertemu dengan Sugeng lantaran ingin mengembalikan gaji dan slip gaji milik Sugeng yang sudah 11 tahun hilang.
“Subhanallah, 11 tahun yang lalu? Dan uang gaji saya kembali! Bukankah ini sebuah kebesaran Tuhan yang ditampakkan di depan saya?” ucap Sugeng.
Sugeng pun berupaya menemui Badrun saat itu juga.  "Saya harus menemui orang itu untuk mengucapkan rasa terimakasih,” ujarnya.
Baca juga: Viral, Kisah Kebaikan Sopir Taksi "Online" Kembalikan Ponsel Penumpang
Ditemui di rumahnya di Pondok Mutiara Asri E8, Dusun Krajan, Desa Pandanlansung, Wagir, Kabupaten Malang, Sugeng bercerita ketika kehilangan gaji pada Oktober 2006 lalu, kondisinya saat itu sedang sulit.
“Waktu itu saya sedang sulit karena memang harapannya hanya dari gaji saja,” ujarnya.
Sugeng yang saat itu berpangkat Brigadir dan bertugas di Reskoba berangkat ke kantor untuk mengambil gaji. Selepas mengambil gaji yang nilainya Rp 2.077.500, dia melaksanakan tugas rutin.
Ketika ashar tiba, ia melintas di kawasan Polowijen, Blimbing, Kota Malang. Di situ Sugeng menyempatkan shalat di sebuah masjid. Slip gaji, sepanjang yang dia ingat, disimpan di saku kanan depan bersama dengan ponsel.
Saat akan shalat, Sugeng mengeluarkan ponsel dan menaruh di depannya. Setelah selesai salat, Sugeng melanjutkan pulang. Tiba di rumah, ia baru menyadari kalau uang gajinya hilang.
Dalam kondisi kebingungan, Sugeng mencoba kembali lagi ke masjid dan menanyakan kepada takmir apakah ada yang menemukan slip gajinya atau tidak.
Namun para takmir menjawab tidak tahu tentang barang yang dicari Sugeng.
Merasa sudah berupaya menemukan gajinya yang hilang, Sugeng akhirnya kembali ke rumah dan menceritakan kejadian itu kepada istrinya. “Istri saya menangis mengetahui slip gaji saya hilang,” kenangnya.
Sugeng juga merasakan perih yang mendalam akibat peristiwa itu. Bahkan dia mengaku sempat stress pasalnya ia merasa kalau gaji itu adalah haknya. “Saya bahkan sempat protes kepada Tuhan dan meminta agar dikembalikan. Doa itu terus saya panjatkan ketika salah tahajud,” tuturnya.
Uang itu rencananya akan digunakan untuk merenovasi rumah dan membayar tukang. Namun karena Sugeng tidak membawa uang saat pulang, dia pun harus berterus terang kepada tukangnya kalau dirinya belum bisa membayar karena baru saja dilanda musibah.
Baca juga: Viral Porter Kembalikan Tas Berisi Rp 254 Juta, PT KAI Beri Penghargaan
Butuh waktu tiga bulan bagi Sugeng untuk kemudian instropeksi diri dan mengikhlaskan apa yang telah hilang dari dirinya. Ia membangun pemikirian yang positif dengan mengatakan kalau uang itu mungkin saja bukanlah haknya dan sangat diperlukan oleh orang lain.
Lambat laun, Sugeng betul-betul sudah melupakan apa yang ia alami itu. Seiring berjalannya waktu, pada 2013 ia lolos seleksi perwira dan lulus dengan baik. Baginya itu sebuah kecukupan yang diberikan oleh Tuhan.
Di sisi lain, Badrun menemukan slip gaji yang dicari-cari Sugeng. Badrun sempat menanyakan kepada orang sekitar terkait orang yang bernama Sugeng. Namun ia tidak menemukan orang yang mengenal Sugeng.
Karena waktu yang mepet, Badrun terpaksa meninggalkan Kota Malang menuju Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Uang itu pun dia bawa ke Bima.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya kini Sugeng menjadi Kanit Resmob di Polres Malang Kota dan dipertemukan dengan Badrun.
“Saya terharu bahkan hampir menangis mengetahui slip gaji saya masih utuh, bahkan ditambah isinya. Saya katakan saya ikhlas dan berniat menyerahkan kembali uang tersebut kepada Badrun. Namun, beliau menolak dengan halus dan akhirnya terjadi kesepakatan. Saya belikan saja kambing pada saat Idul Kurban nanti dari uang tersebut, agar kami bisa berbagi pahala dan menyerahkan urusan ini kepada Allah SWT,” katanya.
Sugeng juga tidak sungkan mengatakan kalau dirinya belajar banyak dari Badrun. Menurut dia, Badrun adalah sosok yang memiliki integritas.
Baca juga: Kisah Badrun Mencari Pemilik Uang yang Ditemukannya 11 Tahun Lalu
Hal itu perlu ia contoh sebagai anggota Polri. Badrun tiba lagi di Kota Malang karena ia tengah mengikuti pelatihan. Badrun saat ini adalah Wakasek Kurikulum SMKN 3 Kota Bima.
“Saya harus mencontoh Integritas pak Badrun. Kalau pak Badrun tidak punya integritas, pasti gaji saya tidak akan kembali,” lelaki dua anak itu.
Baginya, sebagai seorang polisi yang kerap berhadapan dengan hukum, harus punya prinsip memegang amanah dan integritas agar tugas yang ia emban berjalan baik dan bermanfaat bagi orang lain. (Surya/Benni Indo)
Artikel ini sudah tayang di Surya dengan judul  Mengharukan, Guru ini Tunggu 11 Tahun Untuk Kembalikan Uang Milik Polisi yang Dia Temukan di Masjid



Viral Porter Kembalikan Tas Berisi Rp 254 Juta, PT KAI Beri Penghargaan

 http://regional.kompas.com/read/2017/06/08/15185611/viral.porter.kembalikan.tas.berisi.rp.254.juta.pt.kai.beri.penghargaan
 
Kontributor Purwokerto, M Iqbal Fahmi
Kompas.com - 08/06/2017, 15:18 WIB
Wakil Presiden Deputi PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto, Wisnu Pramudyo memberikan penghargaan kepada Supriyanto (Porter), Andre Arifin, dan Imam Turino (security), Rabu (7/6/2017).(Dok. Humas PT KAI Daop 5 Purwokerto)
PURWOKERTO, KOMPAS.com - Wakil Presiden Deputi PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto, Wisnu Pramudyo memberikan penghargaan kepada Supriyanto, seorang porter, dan 2 petugas keamanan, Andre Arifin dan Imam Turino, Rabu (7/6/2017).
Ketiga karyawan Stasiun Kroya, Cilacap ini mendapat apresiasi besar atas kejujuran dan dedikasinya karena telah mengembalikan tas berisi uang ratusan juta milik salah satu penumpang Kereta 5 Argowilis tujuan Bandung pada Kamis (18/5/2017) silam.
“Sebagai bentuk apresiasi, kami memberikan uang penghargaan dan piagam kepada Supriyanto dan 2 orang security stasiun Kroya tersebut,” kata Wisnu melalui rilisnya, Kamis (8/6/2017).
Menurut Wisnu, tindakan Supriyanto bersama dua petugas keamanan Stasiun Kroya menunjukkan dedikasi yang tinggi sebagai pekerja PT KAI dalam memberikan pelayanan dan keamanan kepada para penumpangnya.
Wisnu juga memuji Supriyanto yang tak tergiur begitu saja melihat tas penumpang yang tertinggal di sebuah cafe tersebut.
“Kejujuran seperti inilah yang harus dijaga dan ditiru oleh semua insan agar citra perkeretaapian Indonesia semakin baik," ujarnya.
Viral
Penemuan tas berisi uang ratusan juta rupiah oleh porter Stasiun Kroya bernama Supriyanto sempat menjadi viral di media sosial.
Berkat kejujurannya, tas beserta isinya kembali pada pemilik yang diketahui bernama Liem Yenoes Budiyanto, tanpa kurang satu sen pun.
Bermaksud menyampaikan ucapan terimakasih, Liem Yenoes Budiyanto yang merupakan pengusaha sukses itu, memberikan tanda mata berupa uang sebesar Rp 2.000.000. Namun karena ketulusan niat Supriyanto, uang tersebut ditolak secara halus oleh semua petugas.
Seperti dikutip dari Tribunnews.com, kejadian ini berawalnya pada Kamis (18/5/2017) silam. Ketika itu, Supriyanto selesai menaikkan barang bawaan penumpang kereta api Agro Wilis jurusan Bandung, di Stasiun Kroya Cilacap, Jawa Tengah.
Ia bersama puluhan porter lain biasa menawarkan jasa angkut barang kepada penumpang kereta di stasiun. Seluruh barang telah naik. Semua penumpang sudah mengambil tempat duduk. Kereta api pun berangkat.
Supriyanto pun mencari tempat rehat di bangku kafe stasiun, sambil menunggu kereta berikutnya datang.  Tak diduga, di dekatnya duduk, ada sebuah tas bewarna putih tergeletak di bangku kafe. Pengunjung kafe di bangku itu telah pergi. Hanya ada bekas minuman kopi di meja.
Supriyanto terdiam sesaat dan terus memandang tas itu. Ia tidak tergoda untuk menyembunyikan tas tersebut, meski kesempatan itu ada. Dan dia sebenarnya sedang butuh uang.
Supriyanto segera menanyakan kepada pengelola kafe, siapa pemilik tas itu.  Namun pengelola kafe juga juga tidak mengetahui pemiliknya. "Tapi dia bilang, penghuni bangku itu sebelumnya dua orang, pria dan wanita," kata Supriyanto, Jumat (19/5/2017).
Dia pun mengamankan barang itu agar dapat kembali ke pemiliknya. Ia tak berani membuka tas itu untuk sekadar mengetahui isinya.
Ia melaporkannya ke aparat keamanan dan Kepala Stasiun Besar Kroya terkait temuannya. Otoritas stasiun lantas memeriksa isi tas tersebut.
Petugas terkejut. Isi tas adalah barang berharga berupa paspor, buku rekening, uang 25.000 dollar Singapura, atau setara sekitar Rp 240 juta, serta uang rupiah tunai senilai Rp 14,7 juta.
Ia memasrahkan barang itu kepada otoritas stasiun tanpa berharap dapat bertemu dengan pemiliknya.
Usai menyerahkan barang itu ke petugas stasiun, Supriyanto kembali bekerja normal, menunggu penumpang kereta yang bersedia memakai tenaganya. Supriyanto juga tak menunggu sampai pemilik barang itu kembali ke stasiun dan menghampirinya.
Baca juga: Bripka Ase, Polantas "Legendaris" di Cianjur yang Viral Karena Pengabdiannya




PERSAHABATAN LINTAS IMAN


PERSAHABATAN LINTAS IMAN

Saat Budayawan Lintas Iman Meriahkan Imamat Seorang Pastor Katolik

 http://regional.kompas.com/read/2017/07/12/07572301/saat.budayawan.lintas.iman.meriahkan.imamat.seorang.pastor.katolik?page=all
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir
Kompas.com - 12/07/2017, 07:57 WIB
Tiga penari sufi dari Ponpes Al-Islah (Sodiq, Ilham, dan Fuqron) menyemarakkan HUT ke-21 Imamat Romo Budi di halaman Gereja Ungaran.
Tiga penari sufi dari Ponpes Al-Islah (Sodiq, Ilham, dan Fuqron) menyemarakkan HUT ke-21 Imamat Romo Budi di halaman Gereja Ungaran.(Dok Romo Aloys Budi Purnomo)
UNGARAN, KOMPAS.com - Sebuah perayaan ulang tahun menandai Imamat seorang pastor di Ungaran, Kabupaten Semarang, Sabtu (8/7/2017) malam lalu.
Imamat dirayakan dalam suasana budaya interreligius, yakni dengan menampilan sejumlah seniman dan budayawan lintas iman.
Adalah Romo Aloys Budi Purnomo Pr, pemimpin umat Katolik Paroki Ungaran dan Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang merayakan Hari Ulang Tahun ke-21 imamatnya di halaman Gereja Kristus Raja Ungaran.
Sejumlah seniman dan budayawan yang hadir dari Kabupaten Semarang antara lain, pelukis dan pematung Soetikno dari Sanggar Seni Tosan Aji Gedongsongo, pelukis Kariman dan Basuki yang keduanya beragama Islam.
(Baca juga: Pesantren Ini Kerap Jadi Tempat Belajar Islam Toleran Pelajar Asing)
Pandhemen tembang Macapat Broto dari Gereja Kristen Jawa Siwakul yang melantunkan tembang 'Macapat Maskumambang' dan 'Dhandanggula'. Kemudian dari seniman tari ada Sarwan, penggiat tari Gedongsongo yang juga seorang Buddhis dan juga Don Siwi Tanto.
Penari lainnya yang hadir adalah Betty, seorang muslimah. Penggiat Merti Tirta Lestari dan Kerukunan Pemuda Masjid Al-Fadlil Genuk Barat, Mahesty Lutfy dan Enjang juga turut hadir. Selain itu hadir pula Surono dari Macapat Candi Gedongsongo.
Sementara dari Kota Semarang hadir tiga penari sufi dari Pondok Pesantren Al Islah Tembalang, yakni Ilham, Sodiq dan Fukron, serta Kang Ujang dan Panji kakak beradik pemain siter dan kecapi yang juga santri dari pondok pesantren asuhan KH Budi Harjono tersebut.
Para penari sufi dan pemetik kecapi ini tidak hanya hadir, tetapi juga sebagai penampil dalam acara yang dihelat di pelataran gereja Katolik terbesar di Kabupaten Semarang.
(Baca juga: Bertemu Dubes Negara Eropa, Cak Imin Ingin Jelaskan Islam yang Toleran)
Sastrawan dari Komunitas Sastra Pelataran Kota Semarang, Agus Dewa datang bersama istri. Aktivis merawat korban stigma PKI-Srikandi Lintas Agama (SriLA) pasangan suami istri Yan Yunantyo Adi- Niken.
Tak ketinggalan aktivis perempuan Prof Agnes Widanti dan Sr Elsa CM bersama rombongan Tim Campus Ministry Unika Soegijapranata Semarang, tempat Romo Budi bertugas sebagai Pastor Kepala Campus Ministry.
Masih dari Kota Semarang hadir rombongan Komunitas Girli (Pinggir Kali) Kebon Dalem, Tim Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, yakni komunitas karya kerasulan jurnalistik yang dirintis Romo Budi tiga belas tahun silam.
Ketua PeLiTA (Persaudaraan Lintas Agama) Setyawan Budi, sahabat-sahabat Romo Budi dari alumni UIN Walisongo ada Lukqman, Ulfah, dan Muqsith), serta Munif Ibnu Bams dari Lembaga Studi Sosial Agama (eLSA).
(Baca juga: Agar Toleransi Beragama Semakin Tercipta...)

Hadir pula Haji Fatquri Busyeri dari Ketakmiran Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Daghelan Cinta Pelawak kenamaan yang juga Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Semarang (DKKS) Sarwoto Ndower juga ikut hadir dan diberikan kesempatakn untuk memberikan ular-ular (nasehat) tentang cinta.
Menurut Kang Ndo panggilan akrab Sarwoto, cinta tidak hanya canda tetapi harus nyata.
"Saya belajar dari Romo Budi, sahabat saya ini tentang cinta. Cinta harus dilandasi kejujuran, keikhlasan, doa, amal dan takwa. Itulah cinta jidat (jujur, ikhlas, doa, amal dan takwa)," kata Kang Ndo disambut tawa dan tepuk tangan para hadirin.
"Yang tepuk tangan masuk surga...yang tidak tepuk tangan tidak apa-apa karena sedang makan..." lanjut Kang Ndo, lagi-lagi disambut tawa dan tepuk tangan.
"Cintaku pada Romo, itu ikhlas. Maka saya ndak usah berharap mendapat bayaran di acara ini!"
Lagi, Kang Ndo melanjutkan lawakannya. "Cinta itu tujuh puluh tujuh. Tujuan hidup kita dengan saling berbagi pitulungan, itulah arti dari angka pitu (tujuh) pertolongan, saling menolong!" tegas Kang Ndo.
Lawakan yang ditampilkan secara interaktif itu langsung mendapat sahutan dari Romo Budi, si empunya hajat.
"Kang Ndo, cinta 77 ala Kang Ndo itu cocok dengan cinta alkitab Katolik. Cinta terungkap melalui pengampunan 70 kali 7 kali. Cinta dan pengampunan itu tanpa batas!" jelas Romo Budi yang berkesempatan silaturahim ke rumah Sarwoto pada Hari Raya Idul Fitri kemarin.
(Baca juga: MUI: Indonesia Harus Jadi Contoh Islam Toleran)
Warna Interreligius perayaan syukur HUT ke 21 Imamat Romo Budi ditandai warna interreligius kultural tak hanya dari pribadi yang hadir tetapi juga testimoni yang dihadirkan. Salah satunya dari Pendeta Sedyaka, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Kristen Semarang (PGKS).
Pendeta Yoko, panggilan Sedyaka mengatakan, imamat Romo Budi tak hanya menjadi berkat bagi Gereja Katolik tetapi juga bagi Gereja Kristen, bahkan bagi masyarakat luas melalui berbagai gerakan kerukunan dan persaudaraan lintas agama.
"Saya merasa terhormat boleh hadir dalam acara ini," katanya.
Sementara sastrawan Agus Dewa memberikan kesaksian pengalaman pribadinya yang melihat betapa Romo Budi memiliki tempat khusus di hati KH Mustofa Bisri, kiai karismatik yang akrab dipanggil Gus Mus itu.
Bahkan Agus menyebut Romo Budi dengan sebutan Kiai, yakni nama penghormatan untuk pemuka agama Islam.
"Saya bersyukur boleh mengenal dan bersahabat dengan dua kiai lintas agama, yakni Kiai Haji Mustofa Bisri atau Gus Mus dan Kiai Romo Aloys Budi. Saya melihat dan mengalami sendiri persahabatan dua sosok Kiai ini luar biasa istimewa," kata Agus Dewa.
Penanggungjawab Sastra Pelataran yang beberapa kali mengundang Romo Budi dalam pembacaan puisi dan diskusi sastra pelataran itu mengakhiri testimoninya dengan membaca puisi pendek berjudul "Terang dalam Gelap" untuk menyimpulkan kehidupan imamat Romo Budi.
(Baca juga: Jelang Natal, Kapolda Ingatkan Indonesia Bangsa yang Toleran)
Acara perayaan HUT ke-21 Imamat Romo Budi juga ditandai pemotongan tumpeng yang diberikan kepada banyak tokoh dan pelaku seni dan budaya. Tepat pukul 21.30 acara ditutup dengan doa secara Islam oleh Kiai Lili "Sentet" dari Ungaran Timur.
Sebelum menutup acara dengan doa secara Islami, Kiai Sentet bahwa dirinya dan Romo Budi selama ini aktif dalam Komunitas DuKuN, yakni akronim dari Doa untuk Kerukunan Utuh untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Kita semua bersama Romo Budi merindukan dan memperjuangkan hidup rukun dan damai mulai di antara kita untuk negeri kita tercinta. Kita hayati semangat 'DuKuN' itu terus-menerus meski tantangan ada di depan kita," kata Kiai Lili.
Romo Budi dalam sambutannya mengucap syukur dan berterima kasih atas terselenggaranya "Angkringan Seniman Budayawan" menandai HUT ke 21 Imamatnya sebagai seorang Pastor Katolik tersebut.
"Semoga hidup rukun dalam semangat 'DuKuN' seperti ini terus dikembangkan di kemudian hari dalam berbagai ekspresi kreasi seni dan budaya," kata Romo Budi.
Demikian tasyakuran HUT ke-21 Imamat Romo Budi Purnomo, di halaman pastoran Gereja Kristus Raja Ungaran malam itu berlangsung akrab, penuh suasana persaudaraan dalam keberagaman.
Kendati sudah ditutup, ternyata obrolan dari hati ke hati tentang agama dan budaya hidup rukun masih berlangsung beberapa jam berikutnya di antara para seniman dan budayawan serta tokoh dari lintas iman yang hadir.
Selamat dan Proficiat atas HUT ke 21 sebagai Imam Projo Keuskupan Agung Semarang, Romo Aloys Budi Purnomo Pr, tetap sehat dan semangat menjadi berkat untuk umat dan masyarakat.

Jumat, 11 Agustus 2017

Jhator :Pemakaman Langit yang Mengerikan

INTERNATIONAL DESTINATIONS

Pemakaman Langit yang Mengerikan

  http://travel.detik.com/international-destination/d-3594404/pemakaman-langit-yang-mengerikan
 
 
 
Ahmad Masaul Khoiri
Redaksi Travel
Kuil Drigung yang jadi lokasi ritual (Drikung Kagyu Foundation)

FOKUS BERITA

Ritual Unik dan Seram
Lhasa - Traveler tahu bukan bila pada umumnya jenazah dikubur atau dikremasi. Maka lain ceritanya dengan pemakaman langit di Tibet malah terbilang mengerikan.

Dirangkum detikTravel, Kamis (10/8/2017), prosesi unik sekaligus seram ini ada di Kuil Drigung, Lhasa, Tibet. Di sana, jenazah dimutilasi dan diberikan ke burung bangkai yang biasa berkeliaran di gunung.

Mayoritas warga Tibet menganut agama Buddha. Mereka menyambut kematian secara sukacita karena percaya reinkarnasi di alam selanjutnya. Oleh karena itulah mereka memilih cara pemakaman langit atau yang disebut dengan ritual 'Jhator'.

Jhator berarti 'sky burial' atau pemakaman di langit. Dinamakan demikian karena ritual Jhator dilakukan di atas bukit atau gunung. Tak sembarang orang bisa dimakamkan dengan cara begitu.

Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antaranya jenazah yang tak boleh berusia di bawah 18 tahun, wanita hamil, atau mereka yang meninggal karena penyakit juga kecelakaan. Dari situs resmi Drikung Kagyu Foundation, Drigung Monastery di Tibet merupakan salah satu dari sedikit kuil Buddha di dunia yang masih melakukan ritual pemakaman 'Jhator' yang amat sakral.

Jenazah tidak di kubur ke dalam tanah karena strukturnya yang terlalu keras dan berbatu. Mereka yang meninggal pun tidak dibakar karena kelangkaan bahan bakar dan kayu. Caranya memakamkan dengan memutilasi jenazah, memisahkan daging dengan tulangnya, lalu dijadikan makanan Burung Nasar alias burung bangkai.

Burung Nasar dalam bahasa Tibet disebut Dakini, yang berarti penari langit. Warga Tibet yakin, Dakini adalah reinkarnasi dari malaikat. Mereka akan mengambil arwah jenazah dan mengantarnya ke surga, sebuah tempat menunggu reinkarnasi kehidupan selanjutnya.

Bagi orang Tibet, ritual Jhator juga sarat akan nilai religi. Daging manusia diumpankan pada Burung Nasar karena dianggap menyelamatkan hewan-hewan tersebut.

Pemakaman Langit yang MengerikanKuil ini disebut juga dengan pemakaman langit (Drikung Kagyu Foundation)

Mereka meniru lelaku salah satu Buddha yakni Sakyamuni. Konon, Sakyumi pernah melakukan hal demikian untuk menyelamatkan seekor elang dengan memberi makan berupa dagingnya sendiri.

Proses ritual Jhator dimulai dari setelah upacara kematian, jenazah akan dibiarkan begitu saja selama 3 hari. Para biksu akan berdoa mengelilingi jenazah tersebut sebelum Jhator dilakukan. Jenazah lalu diposisikan seperti janin, sama seperti ketika dilahirkan.

Jhator biasanya dilakukan sebelum fajar. Jenazah dibawa ke atas bukit kemudian dilepas pakaiannya. Mutilasi pun dimulai, pemotongan pertama dilakukan pada punggungnya. Kapak dan parang digunakan karena daya potongnya yang dianggap lebih kuat. Tulang, daging, dan organ dalam lainnya dipisahkan.

Tulang kemudian dihancurkan dan dicampur dengan 'tsampa' atau tepung 'barley' panggang. Setelah tubuh benar-benar terpotong seluruhnya, adonan tulang itu kemudian disebar ke tanah. Dakini pun mulai datang.

Masyarakat percaya agar arwah terbawa sepenuhnya ke surga, seluruh bagian tubuh harus dimakan. Setelah adonan tulang, bagian selanjutnya yang jadi persembahan adalah organ dalam, baru kemudian daging.

Bagi orang awam yang melihatnya, tradisi ini tentu terbilang cukup mengerikan. Namun, bagi warga Tibet ritual Jhator menjadi bukti akan pandangan lain terhadap kematian.

Meski banyak pertanyaan yang muncul di benak traveler, prosesi Jhator haram hukumnya bagi mereka yang bukan keluarga. Hanya keluarga mendiang yang boleh hadir di ritual tersebut. Memotret juga haram hukumnya karena masyarakat percaya bisa menimbulkan efek negatif bagi arwah mendiang.

Namun, traveler bisa melihat lokasi ritual Jhator di bukit setinggi 4.150 mdpl dekat Kuil Drigung. Silahkan saja ke sana bila traveler ingin melihatnya. (rdy/aff)

Selasa, 16 Mei 2017

Tulisan seorang anak SMA (Islam) di MEDSOS


WARISAN

 Afi Nihaya Faradisa

 https://news.detik.com/berita/d-3502343/tulisan-siswi-sma-banyuwangi-soal-keberagaman-tuai-banyak-pujian

Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata,
Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka,
Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh
dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu,
memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
.
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman".
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali coba menjadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
.
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
.
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolak ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.
© Afi Nihaya Faradisa



(ams/fjp)